Kamis, 29 Desember 2016

Sengketa Tanah di Bandara Pattimura (Ambon)

Kekalahan pihak Angkasa Pura I (AP I) dalam persidangan tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) terkait sengketa kepemilikan lahan Bandar Udara Pattimura dengan masyarakat adat Negeri Laha Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah menjadi salah satu topik diskusi saat Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi V DPR RI meninjau sarana dan prasarana Bandara Pattimura Ambon, Kamis (6/8/2015).

Wakil Ketua Komisi V DPR RI Michael Wattimena menyayangkan berlarut-larutnya kasus sengketa tanah yang melibatkan pihak AP I, TNI AU dengan masyarakat. Lebih lanjut politisi Partai Demokrat ini menggungkapkan seharusnya persoalan tanah ini dari dulu sudah dituntaskan baik oleh pihak AP I maupun dari sisi TNI AU.

“Tetapi karena masalah ini sudah masuk jalur hukum maka mau tidak mau, suka atau tidak suka, sebagai warga negara yang taat hukum harus mengikutinya, karena semua orang di mata hukum adalah sama tidak ada perbedaan, dan apapun keputusannya kita serahkan kepada mekanisme dan hukum yang berlaku, apalagi saat ini sudah sampai pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) di MA,” tukas Michael.

Politisi Dapil Papua Barat ini mengharapkan penyelesaian yang terbaik, disatu sisi masyarakat mendapatkan keadilan dan kebenaran sedangkan bagi pihak AP I dan TNI AU juga memperoleh kepastian hukum menyangkut kepemilikan tanah Bandara Pattimura. “Bandara Pattimura memiliki nilai strategis di wilayah Timur Indonesia karena sebagian penerbangan menuju Papua melalui jalur transit di sini, jadi apapun keputusan PK di MA nantinya jangan sampai menggangu proses pelayanan transportasi udara di Bandara Pattimura,” pesan Michael.

Senada dengan Michael, Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemi Francis menilai jika persoalan kasus sengketa tanah di Bandara Pattimura Ambon itu antara Pemerintah (AP I, TNI AU) dengan masyarakat adat sudah masuk ke ranah hukum maka Komisi V tidak bisa berbuat banyak.

Politisi Gerindra ini menambahkan bahwa persoalan sengketa tanah bukan hanya di Bandara Pattimura Ambon saja tapi hampir di semua wilayah. Ada yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat (seperti di Ambon) atau bahkan antara pemerintah dengan pemerintah (pihak AP dengan TNI AU).

“Jika sengketa terjadi antara pihak Angkasa Pura dengan TNI AU kita harapkan ada ketegasan dari pemerintah,” pinta Fary. Hal ini mengingat fungsi Vital Bandara sebagai pintu gerbang sebuah provinsi. Pihaknya juga mendorong adanya mediasi setelah keluar keputusan dari PK, siapapun yang menang diharapkan memenuhi rasa keadilan dan semuanya bisa menerima karena bagimanapun pelayanan Bandara harus tetap jalan.

“Harus ada langkah-langkah antisipatif karena Bandara ini kan masuk kategori area vital. Apakah jika kalah akan memilih pindah atau dengan membayar ganti rugi atau dicari alternatif lain dimana wilayah Ambon ini yang demografinya kepulauan memiliki keterbatasan lahan,” pesan Fary.

Sementara itu, dari penelusuran Parlementaria melalui website Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri dalam Sistem Informasi Manajemen Konflik Pertanahan/Agraria di situs www.konflikagraria.ditjenpum.go.id ditemukan penjelasan kasus sengketa tanah yang melibatkan AP I, TNI AU dan masyarakat negeri Laha terkait tanah Bandara Pattimura.

Sengketa tanah sudah berlangsung sejak tahun 2005 antara warga Laha dan pemerintah Negeri Laha dengan TNI Angkatan Udara. Konflik terjadi ketika Pengadilan Negeri Ambon memproses gugatan kepemilikan tanah antara TNI AU dengan Negeri Hattu, kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah.

Warga Laha berpendapat bahwa lahan seluas 251 hektar yang disengketakan dengan TNI -AU adalah milik mereka dan Hattu tidak memiliki petuanan (areal tanah) hingga ke Bandara. Menurut Raja Negeri Laha, Said Laturua Lahan seluas 251 hektar ini adalah hak ulayat warga Laha yang dipinjam pakaikan  kepada TNI-AU sejak tahun 1953 untuk jangka waktu 30 tahun dan berakhir tahun 1983, dan hingga saat ini sengketa lahan dengan TNI-AU belum diselesaikan.

Lahan tersebut kemudian digunakan PT. Angkasa Pura untuk mengoperasionalkan Bandara Internasional Pattimura yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.38 Tahun 1995 yang menetapkan aset Bandara Pattimura Ambon menjadi bagian Penyertaan Modal Negara dalam modal PT (persero) Angkasa Pura I. Keluarnya PP No.38/1995 maka tanah Bandara Pattimura Laha-Ambon bukan lagi menjadi Aset Dephan/TNI c.q TNI-AU.(od), foto : naefurodjie/parle/hr.

Sumber : http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/10789

Tidak ada komentar:

Posting Komentar