MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
SAP 10-13
Disusun oleh:
Kelompok 4
4TA01
1.
Akmal Amrullah (10315435)
2.
Lia Lilyana Ariani (13315817)
3.
Lita Mutia Sari (13315852)
4.
Maajid Jati Laksamana (13315974)
5.
Mei Panita Sari (14315115)
6.
Muhammad Fiqri Firdaus Soleh (14315603)
7.
Retno Regita Pramesti (15315790)
8.
Rischa Andriani Permata Putri (16315051)
Program
Studi Teknik Sipil
Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas
Gunadarma
2019
MATERI 10
ASPEK PERSEROAN, PERBANKAN, PERANSURASIAN DAN PERPAJAKAN
DALAM PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI
10.1
Pengertian
Perseroan
Perseroan adalah badan hukum yang
berdiri berdasarkan perjanjian dan modalnya terbagi dalam saham peraturan
perlaksanaannya ditetapkan dalam Undang-undang. Organ perseroan terbagi menjadi
: Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang tugasnya memegang kekuasaan, Direksi
yang tugasnya bertanggung jawab penuh atas kepengurusan dan Komisaris yang
tugasnya melakukan pengawasan dan memberi nasehat kepada Direksi dalam
menjalankan perseroan berdasarkan pasal 7 ayat 1 sampai dengan ayat 7
Undang-undang No.1 tahun 1995.
Pengertian
(pasal 1 ayat 1) : Perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
perjanjian melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham dan memenuhi persyaratan dan peraturan pelaksananya. Prosedur
Pendirian perseroan terbatas adalah sebagai berikut:
1.
Perseroan didirikan oleh 2 orang atau
lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia
2.
Setiap pendiri perseroan wajib mengambil
bagian saham atas perseroan yang didirikan
3.
Setelah perseroan disahkan pemegang saham
menjadi berkurang 2 orang, maka dalam waktu paling lama 6 bulan sejak keadaan
tersebut pemegang saham wajib mengalihkan sebagian sahamnya ke orang lain
4.
Setelah jangka waktu yang dimaksud dalam
ayat 3, pemegang saham tetap kurang dari 2 orang maka pemegang saham
bertanggung jawab atas segala resiko atau kerugian dan Pengadilan Negeri dapat
membubarkan perseroan tersebut
5.
Ketentuan yang mewajibkan perseroan
didirikan oleh 2 orang atau lebih diatur dalam ayat 1, ayat 3 dan ayat 4 tidak
berlaku bagi perseroan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara
6.
Perseroan memperoleh status badan hukum
setelah Akta Pendirian sebagaimana diatur dalam ayat 1 disahkan oleh menteri
7.
Dalam pembuatan Akta Pnedirian, pendiri
dapat diwakili oleh orang lain berdasarkan surat kuasa
8.
Status Badan Hukum Perseroan memperoleh
status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum &
HAM RI (dh. Menteri Kehakiman) dan pengesahan diberikan paling lama 60 hari
setelah permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi persyaratan. Setelah
akta tersebut disahkan, wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan diumumkan
dalam Berita Negara RI.
10.2 Status
Badan Hukum
Perseroan
memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri
Hukum & HAM RI (dh. Menteri Kehakiman) dan pengesahan diberikan paling lama
60 hari setelah permohonan diterima secara lengkap dan memenuhi persyaratan.
Setelah akta tersebut disahkan, wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan
diumumkan dalam Berita Negara RI.
10.3 Pemegang
Saham
Pemegang saham
perseroan harus lebih dari 1 (satu) orang, karena pada dasarnya sebagai badan
hukum perseroan dibentuk berdasarkan perjanjian. Apabila perseroan kemudian
hanya dimiliki oleh seorang, dalam waktu 6 (enam) bulan pemegang saham harus
menjual sahamnya, apabila tidak maka tanggungjawab menjadi pribadi dan atas
permohonan pihak yang berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan
perseroan.
10.4 Perlindungan
terhadap Pemegang Saham Minoritas
Satu orang
pemegang saham atau lebih mewakili 1/10 dari jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah dapat meminta kepada Direksi atau Komisaris untuk
menyelenggarakan RUPS. Pemegang saham atas nama sendiri atau atas nama
perseroan yang mewakili 1/10 dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk dilakukan
pemeriksaan terhadap perseroan.
Setiap pemegang saham
dapat mengajukan gugatan terhadap perseroan kepada Pengadilan Negeri apabila
merasa dirugikan.
10.5 Organ
Perseroan
Organ perseroan
adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. Untuk menjadi
Direksi dan Komisaris diharuskan memenuhi persyaratan tertentu yang pada
intinya harus mempunyai akhlak dan moral yang baik dilihat dari pengembangan
suatu usaha. Di dalam UUPT diatur secara tegas tata cara pemanggilan RUPS,
sahnya RUPS dan quorum, sehingga apabila dalam penyelenggaraan RUPS hal-hal
tersebut tidak dipenuhi, RUPS menjadi tidak sah. Perbedaan Tugas masing-masing
organ perseroan : RUPS merupakan organ perseroan yang mempunyai kekuasaan
paling tinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak
diserahkan kepada Direksi dan Komisaris. Direksi bertugas melakukan pengurusan
perseroan demi kepentingan dan tercapainya tujuan perseroan serta mewakili perseroan
baik di dalam maupun di luar pengadilan. Komisaris bertugas mengawasi
kebijaksanaan Direksi, memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan
perseroan.
10.6
Mencermati
aspek-aspek dalam Kontrak Konstruksi
Dalam suatu kontrak konstruksi atau dokumen kontrak
terkandung aspek-aspek teknis, hukum, administrasi, keuangan/perbankan,
perpajakan, sosial ekonomi, dimana seluruh aspek tersebut harus dicermati
karena saling mempengaruh dan ikut menentukan baik buruknya pelaksanaan
kontrak. Aspek-aspek ini kurang diperhatikan, sehingga sering menimbulkan
perselisihan pendapat atau sengketa terkait aspek tersebut (Nazarhan Yasin:
82-121). Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Aspek
teknis
Aspek teknis merupakan aspek yang
paling dominan di dalam kontrak konstruksi. Apabila aspek ini berhasil
dilaksanakan, maka proyek itu dinggap berhasil/sukses. Aspek teknis dalam
kontrak harus tetap diperhatikan dan dikelola dengan baik agar seluruh isi
kontrak dapat dijakankan dan dipatuhi sebagaimana mestinya. Aspek teknis dalam
dokumen kontrak pada umumnya adalah meliputi : syarat-syarat umum kontrak,
syarat-syarat khusus kontrak, sepesifikasi teknis, dan gambar-gambar kontrak.
Beberapa
aspek teknis dalam dokumen kontrak meliputi:
a.
Lingkup pekerjaan. Uraian pekerjaan harus
dibuat sejelas mungkin serta didukung dengan gambar-gambar dan spesifikasi
teknis. Namun adakalanya ada yang terlewat, misalnya: batas pekerjaan tersebut
dengan pekerjaan yang berdampingan yang dikerjakan oleh penyedia jasa lain.
b.
Waktu pelaksanaan. Harus disebut dengan
jelas, sejak kapan pelaksanaan dihitung. Apabila tidak dijelaskan sejak kapan
dihitung waktu pelaksanaannya, apakah sejak penandatangana kontrak, sejak
tanggal terbitnya SPK, atau saat lain, maka akan menimbulkan sengketa
dikemudian hari yang antara lain adalah sengketa dalam hal menghitung
keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Dalam hal ini yang tepat dan baik adalah
menetapkan bahwa tanggal dimulainya pekerjaan adalah tanggal terakhir dari
tanggal penandatanganan kontrak/tanggal kontrak/tanggal terbitnya SPK, atau
saat lain yang ditentukan. Intinya adalah harus ditentukan dengan tegas kapan
tanggal di mulainya pekerjaan mulai dihitung.
2.
Aspek
Hukum.
Beberapa aspek hukum yang sering menimbulkan dampak hukum
yang cukup luas, antara lain:
a.
Penghentian sementara pekerjaan. Pasal
mengenai hal ini padahal kemungkinan terjadi-nya cukup besar, yang apabila
terjadi maka para pihak akan dihadapkan pada suatu ketidakpasatian hukum
mengenai waktu pelaksanaan pekerjaan yang terganggu dan mengenai ganti ruginya,
berapa lama penghentian pekerjaan diperbolehkan dan apa dampak hukumnya apabila
jangka waktu terlampaui bagi pihak yang menghentikan. Untuk itu penghentian
sementara ini harus diatur tegas dalam kontrak, dimana diatur tata caranya,
alasan-alasannya serta akibat hukumnya karena penghentian sementara pekerjaan
bukan berarti pengakhiran perjanjian.
b.
Pengakhiran perjanjian/pemutusan
kontrak.Pengakhiran disini adalah pengakhiran atau pemutusan atau pembatalan
kontrak yang dilakukan oleh salah satu pihak karena alasan-alasan yang
tercantum dalam kontrak. Dalam hal ini harus diatur dan dicantumkan hak-hak
para pihak untuk memutuskan kontrak termasuk konsekuensinya, hak dan kewajiban
para pihak dan tata cara pemberitahuan pembatalan kontrak.
c.
Ganti rugi keterlambatan. Pencantuman
pasal mengenai ganti rugi akibat keterlambatan menjadi penting karena
keterlambatan itu menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan berhak
menerima ganti rugi. Sehingga harus diatur bagaimana penghi-ungan hari
keterlambatan, penentuan kapan mulai pekerjaan dan penentuan kapan
keterlambatan mulai dihitung dan apakah penyedia jasa tetap dapat diijinkan
bekerja walaupun telah mengalami keterlambatan. Pengaturan yang demikian adalah
untuk menghindari perselisihan karena perbedaan penafsiran.
d.
Penyelesaian perselisihan. Pasal mengenai
hal ini sebaiknya diatur sebaik mungkin untuk menghindari kemungkinan timbulnya
perselisihan atau sengketa mengenai kontrak. Biasanya dalam kontrak disebutkan
bahwa apabila timbul perselisihan akan diselesaikan secara musyawarah. Apabila
tidak tercapai maka akan diselesaikan melalui arbitrase atau melalui pengadilan
(salah satu). Namun yang demikian seringkali penyelesaiannya berlarut-larut
karena tidak ditentukan berapa lama jangka waktu musyawarah atau kapan saat
penyelesaian sengketa karena kegagalan musyawarah dapat dilimpah-kan ke
arbitrase atau ke pengadilan.
e.
Keadaan memaksa yaitu keadaan yang terjadi
diluar kehendak atau kemampuan para pihak, misalnya banjir, gunung meletus,
tanah longsor yang terjadi karena kehendak Tuhan, kebijakan moneter pemerintah,
pemberontakan, huru-hara, wabah penyakit yang terjadi di luar kehendak para
pihak. Mengenai hal ini harus diatur dengan tegas dan jelas, seperti tata cara
pemberitahuannya, penanggulanganya akibat kerusakan, penanggulangan asuransinya
terutama tentang persyaratan penanggungannya.
f.
Hukum yang berlaku. Hukum disini adalah
hukum yang berlaku bagi kontrak, yang harus dicantumkan untuk mengantisipasi
apabila timbul perselisihan. Tanpa mencantumkan klausula hukum yang berlaku
bagi kontrak maka akan sulit menyelesaikan sengketa karena tidak diketahui
hukum apa/negara mana yang dipakai. Walaupun para pihaknya adalah warga negara
yang sama atau warga negara Indonesia. Akan tetapi dalam PP No. 29 Tahun 2000
ditentukan bahwa Kontra Kerja Konstruksi harus tunduk pada hukum Indonesia.
g.
Bahasa kontrak sesuai dengan ketentuan UU
No.18 tahun 1999, kontrak kerja konstruksi dapat dibuat dalam dua bahasa, yaitu
bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Tapi tetap harus ditentukan versi mana
yang berlaku, jika terjadi perbedaan penafsiran karena secara hukum keduanya
berlaku. Pencatuman ketentuan yang demikian adalah untuk menghindari sengketa.
Dan sebaiknya ditentukan bahwa bahasa Indonesia yang berlaku.
h.
Domisili. Kesepakatan mengenai domisili
dalam suatu kontrak dicantumkan dengan maksud apabila timbul perselisihan,
pemutusan kontrak akan dilakukan melalui pengadilan. Dalam hal disepakati dalam
kontrak pilihan penyelesaian sengketa adalah arbitrase, maka pencantuman
keduanya secara bersamaan merupakan suatu kekeliruan yang akan menimbulkan
sengketa yang sulit diselesaikan, karena satu pihak akan atau ingin
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, sementara pihak lain keberatan dan
ingin menyelesaikan sengketanya melalui Pengadilan.
i.
Pengesampingan Pasal 1266 KUHPerdata.
Apabila menghendaki pemutusan kontrak tanpa melalui pengadilan, maka dalam
kontrak kerja konstruksi harus dinyatakan mengesam-pingkan belakunya Pasal 1266
KUH Perdata karena ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata menentukan bahwa suatu
kontrak atau perjanjian hanya dapat diputus atau dibatalkan sering lupa
dicantumkan dalam kontrakmelalui putusan pengadilan.
3.
Aspek
Keuangan/Perbankan.
Aspek keuangan yang terpenting dicantumkan dengan jelas
adalah nilai kontrak/harga borongan, cara pembayaran dan jaminan-jaminan.
Jaminan yang wajib disediakan oleh penyedia jasa adalah : jaminan uang muka,
jaminan pelaksanaan dan jaminan perawatan atas cacat. Sedangkan jaminan yang
diberikan oleh pengguna jasa adalah jaminan pembayaran yang biasanya diberikan
dalam bentuk bank garansi hanya saja bank garansi terkena ketentuan kewajiban
pemenuhan modal minimum, maka saat ini yang berkembang jaminan dalam bentuk surety bond yang diberikan oleh
perusahaan asuransi.
4.
Aspek
Perpajakan
Dalam suatu kontrak kontrusi terkandung aspek
perpajakan, terutama yang berkaitan dengan nilai kontrak sebagai pendapatan
penyedia jasa. Jasa. Jenis pajak yang terkai dengan jasa kontruksi adalah:
a. Pajak Pertambahan nilai (PPN)
b. Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar hukum yang mengenai Pajak Pertambahan nilai (PPN)
atas jasa kontruksi diatur pada pasal 4 (c) UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
diubah dengan UU No.18 Tahun 2000. Dasar Hukum pengenaan Pajak Penghasilan
(PPh) atas penghasilan jasa kontruksi siatur pada pasal 4 ayat 1 dan 2 UU No.7
Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No.17
Tahun 2000.
5.
Aspek
Perasuransian
a.
Jenis asuransi dalam kontrak konstruksi.
Dalam hal ini jenis asuransi yang digunakan ada-lah yang dapat mencakup semua
proyek termasuk jaminan kepada pihak ketiga yang dikenal dengan all risk &
third party liability. Harus diatur secara tegas dalam kontrak yang didalamnya
dapat meyakinkan bahwa proyek tersebut dijamin asuransi. Dalam hal ini manfaat
diberikan untuk pengguna jasa sedangkan preminya dibayarkan oleh penyedia jasa.
b.
Perpanjangan masa asuransi. Mungkin saja
terjadi keterlambatan penyelesaian proyek, maka harus ditentukan bagaimana
perpajangan asuran-sinya karena berarti pertanggungan asuransinya terlampaui.
c.
Jenis asuransi lain. Harus diatur dalam
kontrak bagaimana dengan Asuransi tenaga kerja (Astek) maupun asuransi
kesehatan (Askes).
6.
Aspek
sosial ekonomi
a.
Keharusan menggunakan tenaga kerja dan
bahan tertentu. Aspek ini menyangkut penggunaan tenaga kerja, bahan-bahan
bangunan/material serta peralatan yang diperoleh di dalam negeri. Aspek
initerkait sekali dengan aspek sosial ekonomi.
b.
Tenaga kerja setempat. Pengaturan ini
berkaitan dengan ketentuan keharusan menggunakan tenaga kerja setempat adalah
agar dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi orang disekitar daerah proyek
sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
c.
Tenaga kerja keahlian khusus. Perlu diatur
mengenai tenaga kerja dengan keahlian khusus, karena adakalanya bagian
pekerjaan tertentu memerlukan keahlian khusus, misal pekerjaan seni pahat.
d.
Material dalam negeri. Tujuan pengaturan
penggunaan material dalam negeri adalah dalam rangka melindungi produksi dalam
negeri sebagai-mana diuraikan penjelasan angka 6 UU No. 18 Tahun 1999.
e.
Dampak lingkungan. Aspek ini disyaratkan
dalam UU No. 18 Tahun 1999 Pasal 22 ayat (2) butir (m) dan Pasal 23 ayat (1)
butir (m) yang didalamnya harus memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan
ketentuang tentang lingkungan
7.
Aspek
administrasi
a.
Keterangan para pihak. Keterangan para
pihak harus tercantum secara jelas di dalam kontrak. Jika pihak tersebut adalah
perusahaan, maka identitas perusahaan harus jelas termasuk siapa yang berwenang
mewakili dan bertindak atas nama perusahaan. Keharusan pencantuman keterangan para
pihak adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UU No. 1999 dan Pasal
23 ayat (1) PP No. 29 Tahun 2000.
b.
Laporan kemajuan pekerjaan. Laporan
kemajuan pekerjaan perlu diatur dalam tata cara beserta format yang baku dan
periode laporan yang biasanya dirinci menjadi laporan harian, mingguan dan
bulanan. Pengaturan laporan kemajuan diperlukan untuk memantau kemajuan
pekerjaan dibandingkan dengan rencana atau jadwal pelaksanaan.
c.
Korespondensi. Korespondensi diperlukan
untuk tertib administrasi mengenai informasi para pihak agar semua dapat
didokumentasikan. Perlu diatur mengenai wakil para pihak, alamat serta bentuk
korespondensi yang disepakati, agar informasi yang diberikan dapat diakui
keabsahannya.
d.
Hubungan kerja atar para pihak. Yang
dimaksud adalah hubungan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa, yaitu
menentukan dan mengatur orang atau badan yang mewakili pengguna jasa
dilapangan, demikian juga sebaliknya.
MATERI 11
ASPEK AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN
11.1
Definisi
Agraria
Menurut Etimologi Agraria
berasal dari Bahasa latin “Ager” yang
berarti lapangan atau pedusunan. Agraria merupakan salah satu konsep yang
penting dalam pembangunan pertanian dan pedesaan. Namu demikian, konsep ini
masih diliputi oleh berbagai ketidaksepahaman di antara para ahlinya.
Ketidaksepahaman tersebut sedikit banyak menyumbang pula kepada terhambatnya
implementasi konsep tersebut, khususnya di Indonesia.
11.2 Konsepsi Agraria
Setidaknya ada lima
kelompok yang membedakan tentang hukum agraria di Indonesia. Ada hukum tanah
yang mengatur hak-hak penguasaan ataas tanah dalam arti bumi. Ada hak air yaitu
aturan hukum yang mengatur hak-hak atas air. Ada hukum pertambangan atau hukum yang
mengatur hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam air. Ada hukum perikanan
yaitu hukum yang hak atas kekuasaan alam dalam air. Dan hukum penguasaan atas
tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa. Serta hukum kehutanan adalah atuan
yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan.
Konsepsi hukum agraria
bersifat religius disamping hak bangsa Indonesia baik hak milik yang mempunyai
kedudukan paling tinggi yang meliputi seluruh tanah yang ada di Indonesia dan
bersifat abadi juga hak menguasai negara. Seperti termaktub dalam pasal 33 UUD
1945 dan pasal 2 ayat 2 UUPA mengatakan bahwa negara mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan pengguna, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang,
bumi, air dan ruang angkasa.Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan hukum mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Jadi, kesimpulan dari hukum agraria adalah keseluruhan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai agraria (pertanahan).
11.3 Struktur Agraria dalam Pembangunan
Struktur keagrariaan
terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama
rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan olahan atau garapan untuk memiliki
tanah. Konsep Reforma Agraria pada hakekatnya merupakan konsep land reform,
yang merupakan penataan kembali struktur penguasaan/ kepemilikan tanah yang
lebih adil, termasuk pencegahan konsentrasi kepemilikan tanah. Land reform
diartikan sebagai perombakan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah serta
hubungan-hubungan hukum yang
bersangkutan dengan penguasaan
tanah, untuk melaksanakan landreform, pemerintah harus merealisasikan
ketentuan-ketentuan Pasal 7, Pasal 10, Pasal 13, dan Pasal 17 yang terkandung
dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Salah satu program yang digalakkan oleh
pemerintah dalam rangka program land reform adalah redistribusi tanah.
Dalam Rencana
Pembanguanan Jangka menengah (RPJM) dan Rencana Pembanguanan Jangka
Panjang (RPJPN) 2005-2025,
disebutkan lima misi
pokok di bidang pertanahan, yaitu;
a. Menerapkan sistem pengelolaan pertanahan
yang efisien, efektif;
b. Melaksanakan
penegakan hukum terhadap
hak atas tanah
dengan menerapkan prinsip-prinsip
keadilan; transparansi, dan demokrasi;
c. Penyempurnaan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan
land reform, agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah
mendapatkan hak atas tanah;
d. Penyempurnaan sistem hukum dan produk hukum
pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan
pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat;
e. Peningkatan upaya penyelesaian sengketa
pertanahan.
MATERI 12
ASPEK PENATAAN
RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
12.1
PENDAHULUAN
Ruang adalah wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah
wujud struktur ruang dan pola ruang, sedangkan penataan ruang yaitu
suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan,
berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah dan lintas
pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan antara lain pemerintah, pemerintah
daerah dan masyarakat.
Penataan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana
umum tata ruang dan rencana tata ruang. Rencana umum tata ruang disusun
berdasarkan pendekatan wilayah administraftif dengan muatan substansi mencakup
rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana rinci tata ruang disusun
berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan atau kegiatan kawasan dengan
muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan bublok
peruntukan. Penyususnan rencana rinci dimaksudkan sebagai operasionalisasi
rencana umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan zonasi.
Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota dan
peraturan zonasi yang melengkapi rencana rinci tersebut menjadi salah satu
dasar dalam pengendalian pemanfaatan ruang sehingga
pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan rencana umum tata
ruang dan rencana rinci tata ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan melalu
perizinan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan
izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi administrative, sanksi
pidana penjara, atau sanksi pidana denda.
12.2
KONSEP
DASAR PENATAAN RUANG
Konsep penataan ruang wilayah adalah pemanfaatan
pembangunan yang harus mengacu pada beebrapa aspek seperti keamanan, produktifitas serta
dapat bermanfaat secara luas bagi semua lapisan masyarakat. Penyusuanan rencana tata ruang wilayah nasional harus
mem-perhatikan hal-hal berikut:
1.
Wawasan Nusantara dan ketahanan Nasional
2.
Perkembangan permasalahan regional dan global, serta
hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional
3. Upaya pemerataan
pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi
Aspek lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan
Rencana Tata Ruang Nasional adalah:
1.
Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan
daerah;
2.
Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
3.
Rencana pembangunan jangka panjang nasional;
4.
Rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan
5.
Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata
ruang wilayah kabupaten/kota.
Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:
1.
Penyusunan rencana
pembangunan jangka panjang nasional;
2.
Penyusunan rencana
pembangunan jangka menengah nasional;
3.
Pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
4.
Mewujudkan keterpaduan,
keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta
keserasian antarsektor;
5.
Penetapan lokasi dan fungsi
ruang untuk investasi;
6.
Penataan ruang kawasan
strategis nasional; dan
7.
Penataan ruang wilayah
provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
1.
Terwujudnya keharmonisan
antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
2.
Terwujudnya keterpaduan
dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan
sumber daya manusia; dan
3.
Terwujudnya pelindungan
fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat
pemanfaatan ruang.
12.3
ASPEK
HUKUM TATA RUANG
Sistem tata ruang dari aspek hukum sudah menjadi suatu sistem cukup
kompleks dan untuk alasan ini tentu tidak bisa digambarkan sepenuhnya dalam
buku ini. Suatu sistem tata ruang menentukan penggunaan tanah yang disebutkan
pada sebuah rencana tata ruang. Biasanya sistem tata ruang dibentuk dari
ketetapan zona. Penetapan zona ini harus mempertimbangkan semua komponen dalam
pembangunan berkelanjutan, yaitu: pembangunan ekonomi, kelayakan kehidupan
sosial, kelestarian lingkungan dan pelembagaan dari semua kerangka peraturan.
Penentuan zona penggunaan tanah seharusnya mengatur tentang apa yang:
1.
Dilarang;
2.
Boleh
dilaksanakan setelah izin diterima dari pihak berwenang yang terkait;
3.
Boleh
dilaksanakan tetapi harus tunduk pada syaratsyarat yang dikeluarkan oleh pihak
yang berwenang untuk memberi izin; dan/atau
4.
Boleh
dilakukan tanpa izin.
Sistem hukum mempunyai beberapa peranan dalam
sistem penataan ruang. Sistem hukum bisa menetapkan tujuan di mana tata ruang
boleh dipersiapkan dan tujuannya dipenuhi dalam penataan ruang. Hukum bisa
menentukan lingkup pada suatu rencana serta prosedur perumusannya,
pelaksanaannya dan amandemennya. Bagian tentang aspek hukum ini akan mengulas
sistem penataan ruang di Indonesia yang ditetapkan secara nasional.
12.4
KERANGKA
PERATURAN TENTANG TATA RUANG
Para anggota DPRD seharusnya mengetahui
sistem tata ruang dari tingkat nasional ke tingkat provinsi dan tingkat kota.
Hingga 28 saat ini pengaturan masih bersifat ‘top down’ sesuai dengan
UndangUndang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU24/92). Apa
implikasinya untuk pemerintah kota? Implikasinya tidak terlalu keras karena
sistem tata ruang di tingkat kota cukup memberi ruang untuk ‘strategi
pelaksanaan pemanfaatan ruang’ di kota. Masih ada kesempatan untuk memberi
makna keberlanjutan atas ketentuan yang dibuat dari tingkat daerah dan tingkat
nasional.
Para anggota DPRD harus menyadari bahwa
pendekatan yang dimuat dalam UU 24/92 di luar langkah otonomi daerah.’Ia juga
belum sepenuhnya mengikuti prinsip-prinsip pembangunan kota berkelanjutan. Pada
tahun 1997, laporan yang berjudul Institutional Framework Reforms for Land
Administration oleh Bappenas dan BPN, menyatakan bahwa langkah pertama dalam
desentralisasi adalah penataan ruang pada tingkat kecamatan. Informasi pada tingkat
kecamatan harus dipadukan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Selanjutnya,
ia juga harus dibandingkan dengan pedoman umum pemerintah pusat dan pedoman
khusus dari pemerintah kota.
Mengikuti kerangka regulasi tentang
desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang diperbarui, terlihat adanya
kebutuhan untuk mendefinisikan ulang tentang hubungan antara provinsi dan
kota/kabupaten. Hal ini berkaitan juga dengan rencana penataan tata ruang agar
menjadi lebih jelas. Pembaruan kerangka regulasi ini mengarah pada perlunya
perubahan tentang rangkaian pengelolaan tata ruang guna yang lebih akomodatif
terhadap pendekatan “bottom up” atau prinsip otonomi daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai
Daerah Otonom menyatakan bahwa penetapan tata ruang nasional berdasarkan tata
ruang kabupaten/kota dan provinsi (pasal 2(3)13). Sebelum ada perubahan dalam
sistem ‘top down’, perlu ada revisi dalam ’perda’ provinsi. Sebab, biasanya perda
provinsi mempunyai pendekatan ‘top down’. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
diharuskan menjadi dasar penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
12.4.1
Undang-Undang No. 24 tahun 1992
Undang-Undang No. 24/1992 tentang Penataan
Ruang menentukan suatu kerangka untuk sistem tata ruang seluruh 29 Indonesia.
Ia berisi definisi, ketetapan peran serta masyarakat dan juga menetapkan tiga
konsep yang terkait dengan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang.
Dalam pasal 1(10), kawasan perkotaan diartikan sebagai ‘kawasan yang mempunyai
kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,
pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi’.
Dalam UU tersebut dikatakan bahwa penataan
ruang kawasan perkotaan diselenggarakan untuk mencapai tata ruang kawasan yang
optimal, serasi, selaras dan seimbang (pasal 10(2)(a)) antara perkembangan
lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat. Pengaturan pemanfaatan ruang
diarahkan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan dan lingkungan
sosial (pasal 10(2)(c)).
Ketetapan tersebut adalah pernyataan prinsip
yang harus dilaksanakan pemerintah kota dalam upaya membangun kota
berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, UU ini akan sesuai dengan prinsip-prinsip
kota berkelanjutan jika seluruh indikatornya diikuti secara konsisten. Karena
belum diatur dalam kerangka regulasi tingkat nasional, DPRD dapat mengambil
peran strategis untuk menjabarkan kerangka regulasi ini dalam perda yang
dirumuskannya bersama pemerintah kota.
12.5
PENYEMPURNAAN KONSEP
TATA RUANG
Adapun yang perlu diperhatikan dalam upaya
penyempurnaan konsep Tata Ruang pada dasarnya, dokumen rencana tata ruang yang
telah disepakati dan disahkan oleh DPRD menjadi perda sepenuhnya akan menjadi
satu kebijakan publik. Maka, perda ini harus diterima, disepakati dan
diterapkan oleh semua pelaku tata pemerintahan, termasuk masyarakat. Semua
pelaku yang tidak mentaati rencana ini dapat diberikan sanksi.
Penyempurnaan terhadap rencana tata ruang
juga perlu memperhatikan kenyataan bahwa berbagai persoalan yang selama ini ada
dalam proses penerapan rencana tata ruang relatif tidak mudah diatasi dan
bahkan tidak bisa diterapkan. DPRD dan semua pelaku juga perlu mempertimbangkan
untuk mengefektifkan atau memberdayakan dokumen rencana tata ruang. Dalam upaya
64 penyempurnaan rencana tata ruang, DPRD bersama para pelaku lain perlu
mengembangkan opsi-opsi konsep yang mungkin berguna untuk menggantikan konsep
yang lama atau menciptakan konsep yang baru sama sekali.
Pemikiran
kedepan mengenai konsepsi tata ruang pada dasarnya berdasarkan atas beberapa
pertimbangan:
1.
Bahwa tanah pada hakekatnya dapat dipergunakan untuk berbagai
jenis kegiatan apapun yang dapat memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya
untuk semua warga;
2.
Rencana tata ruang harus merefleksikan kebutuhan
pengamanan lingkungan dan perbaikannya, yang sementara ini tidak nyata baik
dalam konsep maupun operasionalnya;
3.
Peruntukkan tanah untuk dimensi waktu yang relatif
panjang (10-20 tahun) cenderung membatasi dinamika kegiatan dan perkembangan
perkotaan, dalam pengertian bahwa ada kontradiksi antara kehidupan yang dinamis
diakomodasi dalam instrumen yang sangat statis;
4.
Keberadaan rencana tata ruang sering menyebabkan nilai
tanah menjadi tak bernilai.
MATERI 13
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI
13.1
Definisi Abritase
Menurut ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 30
Tahun 1999 dinyatakan bahwa: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersangkutan.” Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di
luar pengadilan umum yang didasarkan pada. Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun
1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, yang dimaksud
dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Adapun perjanjian arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa .
13.2
Sengketa Kontruksi
Sengketa jasa kontruksi terdiri dari :
a. Sengketa
yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar
menawar.
b. Sengketa yang
terjadi pada saat
berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan
konstruksi.
c. Sengketa
yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 tahun.
13.3 Penyelesaian
Sengketa Jasa Konstruksi
Penyelesaian sengketa jasa konstruksi yang tidak
dapat diselesaikan melalui musyawarah
dan mufakat, diarahkan pada
penyelesaian di luar
pengadilan dan bermuara
pada penyelesaian sengketa
melalui jalur perdamaian.
Adapun dalam Penyelesaian sengketa contractual, dapat melalui
jalur-jalur sebagai berikut:
1.
Jalur Konsultasi
Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara satu
pihak tertentu, yang disebut dengan
“klien” dengan pihak lain
yaitu konsultan. Pihak
konsultan ini memberikan pendapat kepada
klien untuk memenuhi
kebutuhan klien tersebut.
Dalam jasa konstruksi, konsultan berperan
penting dalam penyelesaian
masalah-masalah teknis lapangan,
apalagi apabila konsultan tersebut
merupakan konsultan perencana
dan atau konsultan
pengawas proyek. Pendapat mereka sangat dominan untuk menentukan
kelancaran proyek.
2.
Negoisasi
Negosisi merupakan salah
satu lembaga alternatif
penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di
luar pengadilan, sedangkan
perdamaian dapat dilakukan
sebelum proses sidang
pengadilan atau sesudah proses sidang berlangsung, baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan.
Dari literatur hukum
dapat diketahui, selain
sebagai lembaga penyelesaian sengketa,
juga bersifat informal meskipun adakalanya juga bersifat formal.
3.
Jalur Mediasi
Dari beberapa pengertian yang ada, maka pengertian mediasi adalah pihak
ketiga (baik perorangan atau lembaga independen), tidak memihak dan bersifat
netral, yang bertugas memediasi kepentingan dan diangkat serta disetujui para
pihak yang bersengketa. Sebagai pihak luar, mediator tidak memiliki kewenangan
memaksa, tetapi bertemu dan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna
mencari masukan pokok perkara. Berdasarkan masukan tersebut, mediator dapat
menentukan kekurangan atau kelebihan suatu perkara, kemudian disusun dalam
proposal yang kemudian dibicarakan kepada para pihak secara langsung. Peran
mediasi ini cukup penting karena harus dapat menciptakan situasi dan kondisi
yang kondusif sehingga para pihak yang besengketa dapat berkompromi dan
menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan di antara para pihak yang
bersengketa. Mediasi juga merupakan salah satu alternatif penyelesaian
sengketa.
4.
Jalur Perdamaian
Jalur perdamaian merupakan atau langkah awal
sebelum sidang pengadilan
dilaksanakan, dan ketentuan perdamaian
yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, juga merupakan bentuk
alternatif penyelesaian sengketa
di luar pengadilan, dengan mengecualikan untuk
hal-hal atau sengketa
yang telah memperoleh
suatu putusan hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
5.
Jalur Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase
Arbitrase adalah
bentuk kelembagaan, tidak
hanya bertugas untuk
menyelesaikan perbedaan atau
perselisihan atau sengketa yang terjadi
antara para pihak dalam perjanjian
pokok, akan tetapi
juga dapat memberikan
konsultasi dalam bentuk
opini atau pendapat hukum atas permintaan para pihak
dalam perjanjian. Pendapat hukum lembaga
arbitrase bersifat mengikat, dan setiap pelanggaran terhadap pendapat
hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian.
Penyelesaian sengketa jasa
konstruksi banyak mengadopsi beberapa jalur tersebut di atas. Dalam
penyelesaian sengketa jasa
konstruksi pada saat
berlangsungnya pelaksanaan proyek
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1.
Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai
penyerahan pekerjaan I) Penyelesaian
sengketa dengan Site
Meeting (Rapat-rapat Lapangan)
yang dilaksanalan 2 (dua)
minggu sekali. Rapat
ini dihadiri oleh
pengguna jasa, penyedia
jasa, dan wakil pemerintah bidang konstruksi (untuk proyek pemerintah - instansi
teknis). Kesepakatan yang dihasilkan
dalam site meeting
ini dibuatkan Berita
Acara Rapat Lapangan
yang ditandatangani
pihak-pihak yang terlibat/hadir, mengikat
semua pihak, serta masuk
dalam dokumen pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan.
2.
Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai dan
setelah penyerahan ke II) Pada tahap ini dibagi 2 (dua) yaitu : (1) Tahap
pekerjaan konstruksi sampai dengan penyerahan ke II pekerjaan pelaksanaan, dan
(2) Tahap operasional yaitu tahap bangunan dimanfaatkan hingga jangka waktu 10 tahun.
3.
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan
Pengadilan yang dimaksud
adalah upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan, manakala upaya yang ada
belum juga menghasilkan kesepakatan. Perlu diingat bahwa upaya pengadilan ini
meupakan upaya akhir (baca : pengadilan negeri tempat domisili para pihak berselisih, termasuk lokasi proyek yang
bersangkutan – yang biasanya sudah dicantumkan dalam kontrak kerja).
DAFTAR
PUSTAKA
Erdinal agung, 2014.
Aspek Manajemen Proyek Konstruksi. http://8aspekmanajemenproyekkonstruksi.blogspot.com/2014/11/.
(diakses tanggal 03
Januari 2019)
Juita sridewi, 2012.
Aspek Hukum dalam perseroan. http://belajarhukumbisnis.blogspot.com/2012/06/aspek-hukum-dalam-perseroan-terbatas.html.
(diakses tanggal 04
januari 2019)
Sri redjeki, 2016.
Kesempurnaan kontrak kerja konstruksi menghindari sengketa. https://media.neliti.com/media/publications/147404-ID-kesempurnaan-kontrak-kerja-konstruksi-me.pdf.
(diakses tanggal 04
Januari 2019 )
Harsono, Budi. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Hukum Tanah
Nasional, Djambatan, 2008.
Kusumaatmadja, Mochtar. Hukum Masyarakat Dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1995.
Indonesian Institute for
Infrastructure Studies,2012. Aspek Penataan Ruang dan Perjanjian dalam Proyek
Pembangunan .http://www.penataanruang.com (diakses tanggal 04 Januari 2019 )
Guritno
Soerjodibroto, 2014. htt Aspek Penataan Ruang dan Perjanjian dalam Proyek Konstruksi. ps://www.academia.edu/4515377/Tata_Ruang. (diakses tanggal 04 Januari 2019 )
Dewi, Sita. 2015. Makalah Cara Penyelesaian
Sengketa. https://www.academia.edu/9976222/MAKALAH_CARA_PENYELESAIAN_SENGKETA_HPI
(diakses tanggal 06 Januari 2019)
Afif Mukhamad, Bambang
Agus. 2018. Masalah Sengketa Dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. https://www.researchgate.net/publication/322301973_MASALAH_SENGKETA_DALAM_PENYELENGGARAAN_JASA_KONSTRUKSI (diakses
tanggal 06 Januari 2019)
permisi min numpang share ya :)
BalasHapusbosan tidak tahu mesti mengerjakan apa ^^
daripada begong saja, ayo segera bergabung dengan kami di
F*A*N*S*P*O*K*E*R cara bermainnya gampang kok hanya dengan minimal deposit 10.000
ayo tunggu apa lagi buruan daftar di agen kami ^^