Minggu, 11 November 2018

PENYUSUNAN ANGGARAN PERUSAHAAN DAN/ATAU ANGGARAN PROYEK PEMBANGUNAN


MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN


Disusun oleh:
Kelompok 4
4TA01

1.         Akmal Amrullah                                                         (10315435)
2.         Lia Lilyana Ariani                                                       (13315817)
3.       Lita Mutia Sari                                                            (13315852)
4.       Maajid Jati Laksamana                                               (13315974)
5.       Mei Panita Sari                                                           (14315115)
6.       Muhammad Fiqri Firdaus Soleh                                 (14315603)
7.       Retno Regita Pramesti                                                            (15315790)
8.       Rischa Andriani Permata Putri                                   (16315051)



Program Studi Teknik Sipil
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Gunadarma
2018


MATERI 4
PENYUSUNAN ANGGARAN PERUSAHAAN DAN/ATAU ANGGARAN PROYEK PEMBANGUNAN


4.1                   Prinsip-Prinsip dalam Penganggaran
Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip anggaran adalah: (Dedi Nordiawan, Iswahyudi Sondi Putra dan Maufidah Rahmawati tahun 2007):
1.             Transparansi dan akuntabilitas anggaran
Anggaran harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat, terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat. Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut. 
2.             Disiplin Anggaran
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos atau pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan atau proyek yang belum atau tidak tersedia anggarannya. Dengan kata lain, bahwa penggunaan setiap pos anggaran harus sesuai dengan kegiatan atau proyek yang diusulkan
3.             Keadilan Anggaran
Pemerintah wajib mengalokasikan penggunaan anggarannya secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan, karena pendapatan pemerintah pada hakikatnya diperoleh melalui peran serta masyarakat secara keseluruhan.
4.             Efisiensi dan efektivitas Anggaran
Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu pelaksanaan, dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan masyarakat. 
5.             Disusun dengan pendekatan kinerja
Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output atau outcome) dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi kerja yang terkait. 

Selain prinsip-prinsip secara umum seperti yang telah diuraikan di atas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 mengamanatkan perubahan-perubahan kunci tentang penganggaran sebagai berikut: 
1.             Penerapan pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah
Pendekatan dengan perspektif jangka menengah memberikan kerangka yang menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien. 
Dengan melakukan proyeksi jangka menengah, dapat dikurangi ketidakpastian di masa yang akan datang dalam penyediaan dana untuk membiayai pelaksanaan berbagai inisiatif kebijakan baru, dalam penganggaran tahunan. Pada saat yang sama, harus pula dihitung implikasi kebijakan baru tersebut dalam konteks keberlanjutan fiskal dalam jangka menengah. 
2.             Penerapan penganggaran secara terpadu
Dengan pendekatan ini, semua kegiatan instansi pemerintah disusun secara terpadu, termasuk mengintegrasikan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan. Hal tersebut merupakan tahapan yang diperlukan sebagai bagian upaya jangka panjang untuk membawa penganggaran menjadi lebih transparan, dan memudahkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Dalam kaitan dengan menghitung biaya input dan menaksir kinerja program, sangat penting untuk mempertimbangkan biaya secara keseluruhan, baik yang bersifat investasi maupun biaya yang bersifat operasional.
3.             Penerapan penganggaran berdasarkan kinerja
Pendekatan ini memperjelas tujuan dan indikator kinerja sebagai bagian dari pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja. Hal ini akan mendukung perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam pemanfaatan sumber daya dan memperkuat proses pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam kerangka jangka menengah. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang disusun berdasarkan prestasi kerja dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan Kementerian Negara atau Lembaga atau SKPD harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).



4.2                   Tipe-tipe Anggaran
Terdapat beberpa tipe-tipe anggaran seperti berikut:
1.        Ceiling Budget
Tipe anggaran yang dipakai untuk tujuan-tujuan pengawasan dinamakan Ceiling Budget. Anggaran jenis ini mengawasi suatu instansi secara langsung dengan cara menentukan batas-batas pengeluaran melalui peraturan penggunaan/pemberian, atau secara tidak langsung dengan cara membatasi penghasilan instansi pada sumber yang diketahui dan jumlah yang terbatas.
2.        A Line-Item Budget
Tipe ini menggolongkan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan jenis, digunakan untuk mengawasi jenis-jenis pengeluaran dan juga jumlah totalnya
3.        Performance and Program Budgets
Tipe ini berguna untuk menspesifikasi aktivitas-aktivitas atau program-program berdasarkan mana dana digunakan, dan dengan cara demikian membantu dalam evaluasinya. Dengan cara memisahkan pengeluaran-pengeluaran berdasarkan fungsi (seperti kesehatan atau keamanan publik) atau berdasarkan jenis pengeluaran (seperti kepegawaian dan peralatan) atau berdasarkan sumber penghasilan seperti pajak kekayaan atau biaya-biaya pemakaian (user fees), para administrator dan para anggota legislatif bisa mendapatkan laporan-laporan yang tepat mengenai transaksi-transaksi keuangan, untuk mempertahankan baik efisiensi ke dalam maupun pengawasan dari luar.

4.3                   Fungsi Administrasi dalam Pembangunan
Adapun fungsi administrasi dalam sebuah pembangunan adalah sebagai berikut:
1.        Perencanaan
Merupakan pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan, untuk mencapai tujuan yang dikehendaki dan tugas pokok dalam administrasi bagi pembangunan. Adanya ketimpangan antara sumber daya dengan kebutuhan pembangunan sehingga memerlukan perencanaan agar tercapai efektivitas dan efisiensi. Adapun unsur pokok dalam sebuah perencanaan adalah penyusunan rencana yang harus memiliki, mengetahui, dan memperhitungkan yang mana sebagai berikut:
a.         Tujuan akhir yang dikehendaki.
b.         Sasaran dan prioritas untuk mewujudkannya.
c.         Jangka waktu untuk mencapai sasaran tersebut.
d.         Masalah-masalah yang dihadapi.
e.         Modal/sumber daya yang akan digunakan serta pengalokasiannya.
f.          Kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk melaksanakannya.
g.         Orang, organisasi dan badan pelaksanaannya.
h.         Mekanisme pemantauan, evaluasi dan pengawasan pelaksanaannya.
i.           Perencanaan bersifat kontinyu.
Adapun kegagalan dalam sebuah perencanaan apabila:
a.         Penyusunan perencanaan tidak tepat.
b.         Pelaksanaan tidak sesuai perencanaan.
c.         Perencanaan mengikuti paradugma tidak sesuai dengan kondisi dan perkembangan di negara tertentu.
d.         Perencanaan yang terlalu terpusat.
Untuk mengantisipasi adanya kegagalan, beberapa hal yang harus dilakukan ialah sebagai berikut:
a.         Perencanaan harus dilakukan secara kontinyu
b.         Proses perencanaan yg kontinyu terdapat unsur-unsur
1)        Beorientasi kepada pelaksanaan
2)        Mengandung unsur kontinuitas dan fleksibilitas
3)        Mengusahakan agar perencanaan bersifat seoperasional mungkin
4)        Adanya sistem pengendalian pelaksanaan pembangunan
5)        Perlu adanya proses penyesuaian rencana sesuai dengan pelaksanaan


2.        Pengerahan Sumber Daya
Sumber daya yang dimaksudkan dapat berupa dana, sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi, organisasi/kelembagaan. Pembangunan sebagai kegiatan yang kompleks meliputi berbagai disiplin, sektor, kepentingan, dan kegiatan sehingga dalam hal ini memerlukan lembaga-lembaga yang mampu menampung, menyalurkan, dan mengatasi, serta mensinergikan berbagai aspek tersebut.
3.        Pengerahan partisipasi masyarakat
Dalam administrasi pembangunan harus:
a.         Melibatkan rakyat
b.         Harus dipahami maksudnya oleh rakyat
c.         Harus mengikutsertakan rakyat dalam pelaksanaannya
d.         Dilaksanakan sesuai dengan maksudnya secara jujur, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Aspek penting dalam partisipasi adalah sebagai berikut:
a.         Terlibatnya rakyat dalam proses politik untuk arah, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan.
b.         Meningkatnya artikulasi (kemampuan) masyarakat dalam pembangunan.
c.         Partisipasi masyarakat dalam kegiatan nyata yang konsisten dengan arah, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan.
d.         Adanya perumusan dan pelaksanaan program-program partisipatif dalam pembangunan.
4.        Penganggaran
Penganggaran adalah dana yang tersedia untuk membiayai kegiatan pembangunan yang direncanakan. Terdiri dari dana yang bersumber dari penerimaan dalam negeri dikurangi belanja rutin yang disebut juga sebagai tabungan pemerintah, dan bantuan luar negeri berupa pinjaman atau hibah. Pinjaman luar negeri dapat berbentuk bantuan program dan bantuan proyek.


5.        Pelaksanaan pembangunan
Proyek-proyek pembangunan harus memuat dengan jelas dari segi:
a.         Tujuannya (objective)
b.         Sasaran yang akan dicapai (target)
c.         Cara mengukur keberhasilannya (performance evaluation)
d.         Jangka waktu pelaksanaannya
e.         Tempat pelaksaannya
f.          Cara melaksanakan
g.         Kebijaksanaan untuk menjamin proyek itu dapat dilaksanakan
h.         Biaya
i.           Tenaga yang diperlukan dan badan yang akan melaksanakannya
Tugas administrasi pembangunan untuk menjamin bahwa proyek-proyek pembangunan yang secara fisik dilaksanakan atau dibiayai oleh anggaran pemerintah, berjalan seperti yang dikehendaki dan mencapai sasaran seperti yang direncanakan dengan cara seefisien mungkin.
6.        Koordinasi
Dengan koordinasi diupayakan agar pembangunan yang dilaksanakan dalam berbagai sektor dan oleh berbagai badan serta di berbagai daerah berjalan serasi dan menghasilkan sinergi. Koordinasi merupakan upaya untuk menghasilkan pembangunan yang efisien dalam pemanfaatan sumber daya untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran secara optimal.
7.        Pemantauan dan evaluasi
Pemantauan diperlukan agar pelaksanaan pembangunan yang bergeser dari rencana dapat diketahui secara dini dan diambil langkah-langkah yang sesuai. Evaluasi kinerja dapat memberikan informasi tidak hanya menyangkut input dan output tetapi lebih jauh lagi menyangkut hasil dan manfaat serta dampaknya. Pergeseran tersebut dapat terjadi karena beberapa hal di bawah ini:
a.         Hambatan yang tidak diketahui atau diperhitungkan pada waktu perencanaan
b.         Perkembangan keadaan yang tidak dapat diantisipasi pada tahap perencanaan
c.         Realisasi dari perkiraan yang berbeda dari perencanaan
d.         Perencanaanya keliru
Tugas administrasi pembangunan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan, serta mengambil langkah-langkah apabila dari haisl pemantauan diperlukan pemecahan masalah atau perubahan pada upaya pembangunan yang direncanakan.
8.        Pengawasan
Pengawasan lebih baik apabila bersifat menangkal kerugian yang lebih besar. Kegiatan pengawasan berfokus pada siapa, apa yang salah dan mengapa kesalahan itu terjadi.
9.        Peran informasi
Ketersediaan data/informasi yang lengkap dan akurat sangat diperlukan dalam manajemen pembangunan bahkan menjadi modal pokok dalam perencanaan. Untuk itu diperlukan suatu sistem informasi agar informasi dapat diperoleh secara cepat dan akurat.

4.4                   Pokok-Pokok Anggaran Pembangunan Tahun 2000
4.4.1             Landasan Penyusunan Anggaran
Anggaran pembangunan tahun 2000 (9 bulan) disusun sesuai dengan amanat yang tertuang dalam berbagai Ketetapan MPR, khususnya Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1999 tentang GBHN. Penyusunan Anggaran Pembangunan tahun 2000 sejauh mungkin juga telah merintis berbagai langkah awal kebijakan yang akan ditempuh dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Landasan atau pertimbangan utama dalam penyusunan anggaran tahun 2000 antara lain:

1.        Meningkatkan operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana ekonomi, termasuk jasa pelayanan transportasi, telekomunikasi, kelistrikan, permukiman, guna mendorong pemerataan pembangunan, serta membuka keterisolasian wilayah.
2.        Melakukan berbagai upaya terpadu untuk mempercepat perluasan lapangan kerja, dan penanggulangan kemiskinan melalui program pendidikan, kesehatan dan berbagai program di bidang sosial dan ekonomi lainnya.
3.        Mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri dengan penyediaan dana pendamping yang cukup dan dilaksanakan secara transparan, efektif dan efisien.

4.4.2             Alokasi Anggaran Pembangunan
Alokasi anggaran yang menitikberatkan kepada dana yang akan dikelola Pemerintah Daerah, menunjukkan kesungguhan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999, meskipun berbagai Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan kedua undang-undang tersebut masih dalam proses penyelesaian disebabkan:
1.        Karena peningkatan dana pembangunan yang dikelola Daerah, maka alokasi anggaran yang dikelola oleh instansi pusat menurun 29,8 % dibandingkan dengan tahun 1999/2000 (9 bulan), yaitu dari Rp 11,7 triliun tahun 1999/2000 (9 bulan) menjadi Rp 8,2 triliun Tahun 2000.
2.        Proyeksi atau penarikan pinjaman proyek dalam tahun 2000 adalah Rp 16,0 triliun, atau menurun 28,8 % dibandingkan dengan tahun 1999/2000, sesuai dengan perkiraan kemampuan daya serap proyek-proyek bersangkutan.

4.4.3             Penyusunan Daftar Proyek Pembangunan Tahun 2000
Bappenas dan Departemen Keuangan dalam penyusunan anggaran pembangunan Tahun 2000 hanya memerinci sampai dengan sektor/subsektor/ program, sedangkan rincian lebih lanjut menurut proyek/kegiatan akan ditetapkan sendiri oleh Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan upaya meningkatkan wewenang dan tanggung jawab Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam menentukan prioritas proyek pembangunan yang akan dilaksanakan. Rincian sektor/subsektor telah menjadi bagian dari Nota Keuangan dan Rancangan Undang-undang APBN 2000. Rincian program yang dikeluarkan Bappenas dan Departemen Keuangan hanyalah merupakan angka indikatif. Susunan akhir dari proyek akan ditetapkan oleh Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Langkah ini ditempuh untuk memberikan keluwesan kepada departemen/ lembaga/ emerintah daerah dalam menetapkan proyek masing-masing.

4.4.4             Pengolahan Daftar Isian Proyek (DIP) Tahun 2000
Seperti halnya Tahun 1999/2000, pengolahan DIP yang berlokasi di daerah tidak dilakukan di Bappenas dan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Anggaran, akan tetapi dilimpahkan kewenangan pengolahannya kepada Bappeda Propinsi, Kanwil Direktorat Jenderal Anggaran dan Kanwil Departemen/Lembaga. Perlu dikemukakan bahwa anggaran proyek yang berlokasi di daerah tidak lagi dikelola oleh instansi pusat. Jika diperlukan pengadaan terpusat, maka hal itu dapat dilakukan melalui kuasa dari pemimpin proyek bersangkutan kepada Panitia Pengadaan Pusat instansi yang bersangkutan.


MATERI 5
Pedoman Pengadaan Barang/Jasa untuk Instalasi Pemerintah


5.1                   Pendahuluan
Pengadaan barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa. Dalam hal ini proses yang dimaksud diatur dalam peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Gambar 5.1 kegiatan pegadaan barang/jasa
Penjelasan gambar tersebut diuraikan dibawah ini, yaitu:
1.        Untuk dapat menjalankan pemerintahan dibutuhkan barang/jasa pemerintah dengan spesifikasi tertentu. Maka berdasarkan identifikasi kebutuhan akan didapatkan daftar kebutuhan barang/jasa pemerintah.
2.        Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut maka diperlukan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.
3.        Untuk mengatur proses pengadaan ini maka presiden republik indonesia mengeluarkan Perpres 54/2010 yang dibuat didasarkan peraturan-peraturan yang terkait.
4.        Secara garis besar,Perpres 54/2010 mengatur:
Bagaimana kegiatan pengadaan harus dilakukan yaitu pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran menyusun rencana. Pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan dengan mengacu pada sejumlah peraturan dan kebijakan. Dasar hukum dan ketentuan/peraturan pengadaan barang/jasadapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :
1.        Dasar Hukum Utama
Dasar hukum utama yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah:
a.         Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b.         Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355)
c.         Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956)
d.         Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemertintah.
e.         Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2010 tentang Lembaga Kebijakan Pengandaan Barang/Jasa Pemerintah.
2.        Dasar HukumTerkait
Sedangkan dasar hukum yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah sebagai berikut:
a.         Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b.         Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
c.         Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 tentang Jasa Konstruksi.
d.         Peraturan Pemertintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi.

5.2                   Etika Pengadaan
Pengadaan barang/jasa harus dilakukan dengan menjunjung tinggi etika pengadaan. Etika pengadaan diharapkan dapat membuat pengadaan baramg/jasa berlangsung dengan baik. Etika pengadaan barang/jasa meiputi:
1.        Melakukan tugas secara tertib disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa.
2.        Bekerja secara profesional da mandiri, serta menjaga rahasia dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mecegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa.
3.        Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat.
4.        Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak
5.        Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa
6.        Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa
7.        Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan kolusi dengan tujuan untuk kepentingan pribadi,golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara
8.        Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa
Para pihak dalam proses pengadaan harus memegang teguh etika pengadaan seperti yang diuraikan diatas. Pelanggaran terhadap salah satu atau lebih etika dapat dipastikan akan melanggar prinsip-prinsip pengadaan.  Sebagai contoh apabila melanggar etika a, yaitu bekerja dengan tidak tertib akan melanggar prinsip akuntabel dan efisien atau efektif. Demikian bila melanggar etika b, yaitu bekerja secara profesional dan mandiri serta menjaga kerahasiaan akan melanggar prinsip bersaing dan tidak diskriminatif dan akuntabel atau transparan.
Semakin banyak etika yang dilanggar dapat semakin dipastikan bahwa tujuan pengaturan proses pengadaan barang/jasa melalui Prepres 54/2010 ini menjadi tidak tercapai, yaitu:
1.        Pengadaan barang/jasa menjadi tidak efisien dan efektif
2.        Persaingan menjadi tidak terbuka dan tidak kompetitif
3.        Ketersediaan barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas menjadi tidak tercapai
4.        Meningkatnya kapasitas dan kemampuan penyedia karena adanya persaingan yang sehat menjadi sulit tercapai
5.        Pada gilirannya kualitas pelayanan publik akan sulit ditingkatkan
5.3                   Pengendalian dan pengawasan
Tugas dan wewenang para pihak dalam pengendalian dan pengawasan pengadaan barang/jasa adalah sebagai berikut:
1.        Pimpinan K/L/D/I
a.         Memerikan laporan secara berkala tentang realisasi pengadaan barang/jasa kepada LKPP
b.         Melakukan pengawasan terhadap PPK/ULP/Penjabat Pengadaan/Penjabat Penerima Hasil Pekerjaan
c.         Menugaskan aparat pengawas intern untuk melakukan audit
d.         Membuat daftar hitam bagi penyedia jasa/barang sesuai dengan ketentuan
e.         Memberikan sanksi kepada penyedia barang/jasa setelah mendapat masukan dari PPK/ULP/PP sesuai dengan ketentuan
2.        PPK/I;P/Penjabat Pengadaan
a.         Memberikan sanksi administrasi kepada peyedia barang/jasa sesuai dengan ketentuan
b.         Mengusulkan sanksi pencantuman dalam daftar hitam kepada PA/KPA atas pelanggaran penyedia barang/jasa sesuai dengan ketentuan
3.        APIP K/L/D/I
a.         Menindaklanjuti pengaduan penyedian barang/jasa dan masyarakat yang dianggap beralasan mempunyai bukti sesuai dengan kewenangannya.
b.         Hasil tidak lanjut pengaduan dilaporkan kepada Menteri/ Pimpinan Lembaga/Kepala Daera/Pimpinan institusi.
c.         Dari hasil tindak lanjut bila diyakini terdapat indikasi KKN yang akan merugikan keuangan negara, dapat dilaporkan kepada instansi yang berwenang dengan persetujuan Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi dengan tembusan kepada LKPP dan BPKP.
4.        LKPP
a.         Melakukan evaluasi atas laporan berkala yang dibuat K/L/D/I tentang pelaksanaan pengadaan barang/jasa
b.         Menindak lanjuti pengaduan yang didukung bukti sesuai dengan kewenangan yang dimiliki
c.         Mengumumkan secara nasional daftar hiitam yang dibuat K/L/D/I
5.        Penyedia Barang/Jasa
a.         Bila menemukan indikasi penyimpangan prosedur, KKN dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dan pelangaran persaingan yang sehat dapat mengajukan pengaduan atas proses pemilihan penyedia barang/jasa
b.         Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditunjukan kepada APIP K/L/D/I yang bersangkutan dan LKPP, disertai bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi pengaduan.

5.4                   Sanksi
Apabila terjadi pelanggaran sesuai dengan kewenangannya pimpinan k/L/D/I dapat memberikan sanksi baik kepada penyedia maupun kepada PPK/ULP/Penjabat pengadaan. Sanksi yang dapat diberikan kepada penyedia karena pelanggaran tersebut berupa:
1.        Sanksi administratif
2.        Sanksi pencantuman dalam daftar hitam
3.        Gugatan secara perdata
4.        Pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang
Sedangkan sanksi yang apat diberikan kepada ULP/Penjabat pengadaan yang melakukan kecurangan:
1.        Dikenakan sanksi administrasi
2.        Dituntut ganti rugi
3.        Dilaporkan secara pidana



Tabel 5.1 perbuatan/tindakan penyedia yang dapat dikenakan sanksi beserta jenis-jenis sanksinya
Tabel 5.2 perbuatan/tindakan ULP/Penjabat pengadaan yang dapat dikenakan sanksi beserta jenis-jenis sanksinya
Tabel 5.3 perbuatan/tindakan PPK yang dapat dikenakan sanksi beserta jenis-jenis sanksinya


MATERI 6
KAJIAN PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN JASA KONSTRUKSI


6.1                   PENDAHULUAN
Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk mewujudkan keteraturan dalam tatanan penyelenggaraan jasa konstruksi. Pengaturan tersebut mengatur segala aspek penyelenggaraan jasa konstruksi yang berkaitan dengan pekerjaan/proyek konstruksi, pengembangan usaha jasa konstruksi dan pemberdayaan masyarakat jasa konstruksi.
Salah satu aspek penyelenggaraan jasa konstruksi yang berkaitan dengan pekerjaan/proyek konstruksi adalah kegiatan pengadaan jasa pemborongan konstruksi. Kegiatan pengadaan jasa pemborongan konstruksi diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk menyediakan layanan jasa pemborongan konstruksi yang berkompeten dalam mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Secara hukum yuridis, bentuk dari suatu pengaturan dilakukan dengan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan jasa konstruksi yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 tahun 1999 (UUJK No.18/1999). Berdasarkan Undang-Undang ini ditetapkan berbagai peraturan pelaksana yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), dan sebagainya.
Dalam kajian ini akan dikaji beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi untuk mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Ketentuan tersebut antara lain UUJK No. 18/1999 beserta Peraturan Pemerintah yang terkait (PP No. 28/2000, PP No. 29/2000) serta Keppres No. 80/2003 beserta perubahannya (Keppres No. 61/2004, Perpres No. 32/2005, Perpres No. 70/2005, Perpres No. 8/2006, Perpres No. 79/2006, Perpres No. 85/2006, dan Perpres No. 95/2007).
6.2                   PERUNDANG-UNDANGAN JASA KONSTRUKSI
6.2.1             Undang-undang Jasa Konstruksi (UUJK) No. 18 tahun 1999)
UUJK No. 18/1999 merupakan landasan hukum pengaturan jasa konstruksi yang terencana, terarah, dan menyeluruh dalam rangka mengembangkan jasa konstruksi. Dengan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini, maka semua penyelenggaraan jasa konstruksi yang dilakukan di Indonesia oleh pengguna jasa dan penyedia jasa, baik nasional maupun asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi (Butir 9 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan mengenai kedudukan Undang-undang, ketentuan dalam UUJK No. 18/1999 bersifat umum dan perlu diturunkan dalam bentuk peraturan pelaksanaan untuk penerapannya dengan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Untuk lebih memahami mengenai UUJK No. 18/1999, berikut kajian latar belakang dan struktur isi UUJK No. 18/1999. Sehubungan dengan lingkup penelitian ini, pembahasannya dilakukan dari sudut pandang pengaturan Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi.

6.2.2             Latar Belakang Lahirnya UUJK No. 18 tahun 1999
Pengaturan jasa konstruksi dalam UUJK No. 18/1999 dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan cita-cita luhur jasa konstruksi dimana dengan adanya UUJK No. 18/1999, jasa konstruksi diharapkan dapat:
1.        Berperan dalam pembangunan nasional disarikan dari ayat 1 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999: ”
2.        Terwujud kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999),
3.        Terbentuk usaha yang profesional dan kokoh (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999), dan
4.        Menghasilkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Peran jasa konstruksi dalam pembangunan nasional yaitu melalui kegiatan pembangunan. Yang mana hasil akhir dari pembangunan adalah bangunan fisik berupa sarana dan prasarana. Peran jasa konstruksi secara langsung dalam pembangunan nasional yaitu:
1.        Mengurangi pengangguran dengan membuka lapangan kerja bagi tenaga kerja konstruksi yaitu tenaga ahli dan tenaga terampil
2.        Membuka peluang usaha bagi perusahaan yang bergerak di bidang industri barang dan jasa yang berkaitan dengan pekerjaan konstruksi
3.        Meningkatkan pendapatan negara melalui sektor konstruksi.
Peran jasa konstruksi secara tidak langsung adalah mendukung pertumbuhan dan perkembangan bidang ekonomi, sosial dan budaya melalui hasil pembangunan atau pelaksanaan pekerjaan konstruksi Hal inilah yang menyebabkan pemerintah berinisiatif menyusun konsep awal Undang-Undang Jasa Konstruksi pada tahun 1988 dan selanjutnya bersama asosiasi jasa konstruksi meneruskan konsep awal Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) hingga ditetapkannya UUJK pada tanggal 22 Maret 1999. Keempat latar belakang lahirnya UUJK No. 18/1999 tersebut di atas saling berhubungan satu dengan lainnya dimana hubungan ketergantungan yang dimaksud dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 6.1 Hubungan ketergantungan antara 4 (empat) cita-cita jasa konstruksi
Usaha yang profesional dan kokoh serta kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajibannya merupakan syarat untuk menghasilkan konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana. Yang pada akhirnya, melalui hasil konstruksi tersebut jasa konstruksi dapat berperan dalam pembangunan nasional melalui pertumbuhan dan perkembangan pada bidang ekonomi, sosial dan budaya.

6.3                   Struktur Isi UUJK No. 18 tahun 1999








Gambar 6.2 Struktur Isi UUJK No. 18 tahun 1999
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengaturan dalam UUJK No. 18/1999 memiliki cita-cita akhir agar jasa konstruksi berperan dalam pembangunan nasional. Untuk dapat berperan dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi melalui kegiatan pembangunannya harus menghasilkan konstruksi yang berkualitas, untuk menghasilkan konstruksi yang berkualitas tersebut harus didukung oleh usaha yang profesional dan kokoh serta terwujudnya kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajibannya. Maka dapat disimpulkan, terdapat 3 (tiga) cita-cita pendukung yang mendukung tercapainya peran jasa konstuksi dalam pembangunan nasional dan untuk tercapainya cita-cita tersebut perlu dijabarkan dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUJK No.18/1999.
1.        Pengaturan yang bertujuan untuk mewujudkan Usaha yang Profesional dan Kokoh
Dalam mencapai tujuan mewujudkan Usaha yang Profesional dan Kokoh dilakukan dengan pengaturan terhadap 4 (empat) ketentuan yaitu Ketentuan Usaha Jasa Konstruksi, Pembinaan Usaha, Pengembangan Usaha, dan Peran Masyarakat.
Ketentuan Usaha Jasa Konstruksi merupakan dasar untuk dilakukannya Pembinaan Usaha dan Pengembangan Usaha. Pembinaan Usaha dilakukan oleh pemerintah kepada penyedia jasa, pengguna jasa dan masyarakat meliputi Pengaturan, Pemberdayaan dan Pengawasan terhadap penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pembinaan bertujuan untuk mendorong penyedia jasa, pengguna jasa dan masyarakat untuk mengetahui dan memahami hak, kewajiban dan perannya dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
a.         Ketentuan Usaha Jasa Konstruksi (Pasal 4 sd 10) Ketentuan usaha terdiri dari:
1)        Jenis usaha, menunjukan layanan kegiatan usaha, perencanaan / pelaksanaan / pengawasan pekerjaan konstruksi (pasal 4)
2)        bentuk usaha, menunjukan bentuk usaha tersebut usaha orang perseorangan atau berbentuk badan usaha (pasal 5),
3)        bidang usaha, menunjukkan usaha tersebut bergerak dibidang arsitektut/sipil/mekanikal/elektrikal/tata lingkungan (pasal 6), dan
4)        persyaratan usaha.meliputi izin usaha dan sertifikat, klasifikasi dan kualifikasi usaha (pasal 8).
b.         Pembinaan Usaha (Pasal 35)
Berkaitan dengan peran jasa konstruksi dalam pembangunan nasional untuk mendukung perluasan lapangan usaha dan kerja, maka Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap jasa konstruksi. Pembinaan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan dan pengawasan kepada penyedia jasa, pengguna jasa dan masyarakat (pasal 35). Pengaturan dilakukan dalam bentuk penerbitan peraturan-peraturan dan stándar-stándar teknis, sedangkan pemberdayaan dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban serta kemampuan usaha berkaitan dengan kualifikasi usaha agar dapat memenuhi hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan jasa konstruksi. Pengawasan dilakukan untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi dalam pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.         Pengembangan Usaha (Pasal 12 sd 13)
Pengembangan usaha jasa konstruksi dilakukan dengan tujuan untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh dan efisien melalui kemitraan yang sinergis antara usaha yang besar, menengah dan kecil, maupun usaha yang bersifat umum, spesialis dan keterampilan tertentu sesuai dengan jenis usahanya yaitu, perencanaan atau pelaksanaan atau pengawasan pekerjaan konstruksi (pasal 12). Pengembangan usaha yang dilakukan meliputi dukungan modal termasuk pertanggungan untuk mengatasi resiko dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi (pasal 13 butir a) dan pertanggungan jenis usaha pertanggungan (pasal 13 butir b).
d.         Peran Masyarakat
Peran masyarakat meliputi hak (pasal 29) dan kewajiban (pasal 30) masyarakat dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dalam bentuk pengawasan untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Masyarakat berkewajiban untuk mengawasi atau menjaga agar pelaksanaan konstruksi berjalan tertib dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang jasa konstruksi dan mencegah terjadinya pekerjaan yang membahayakan kepentingan umum. Selain kewajiban, masyarakat juga berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kerugian dari penyelenggaraan pekerjaan konstruksi tersebut. Peran masyarakat dilaksanakan melalui suatu forum jasa konstruksi.



2.        Pengaturan yang bertujuan untuk mewujudkan Kesetaraan Kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa
Kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa mengenai hak dan kewajiban dalam kegiatan pengikatan (pasal 17) dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (pasal 23 dan 24) serta penyelesaian perselisihan/sengketa (pasal 36 dan pasal 37).






Gambar  6.3 Hubungan Pengikatan dan Penyelenggaraan Pekerjaan
Pengikatan pekerjaan konstruksi yang dilakukan dengan prinsip persaingan sehat melalui kegiatan pemilihan penyedia jasa dilakukan untuk mendapatkan penyedia jasa yang berkualitas atau memenuhi kualifikasi untuk menyelesaikan pekerjaan konstruksi sesuai kontrak dan jika terjadi masalah dalam pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi termasuk kegagalan bangunan maka masalah tersebut harus diselesaikan dan ketentuannya diatur dalam UUJK No. 18/1999.
a.         Pengikatan Pekerjaan Konstruksi
Pengikatan pekerjaan konstruksi dilakukan dengan prinsip persaingan sehat melalui pemilihan penyedia jasa (pasal 17 ayat 1) untuk mendapatkan penyedia jasa yang berkualitas dan memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan dilakukan dengan metoda pelelangan umum dan pelelangan terbatas. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pemilihan tersebut yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa. Dimana pengguna jasa dan penyedia memiliki hak dan kewajiban dalam kegiatan tersebut. Untuk itu dibutuhkan pembinaan berupa pengaturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban dari pengguna jasa dan penyedia jasa. Selain pengaturan, dalam kegiatan pemilihan penyedia jasa terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa agar dapat lulus dalam evaluasi atau penilaian baik penilaian kualifikasi maupun persyaratan lainnya. Jika penyedia jasa tersebut merasa tidak memenuhi kualifikasi dan persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh pengguna jasa, penyedia jasa tersebut dapat melakukan pengembangan usaha dalam bentuk kemitraan dengan penyedia jasa lainnya agar dapat memenuhi persyaratan kualifikasi tersebut. Selain itu, pemerintah juga melakukan kegiatan pembinaan dalam bentuk pemberdayaan untuk mendorong penyedia jasa agar meningkatkan kemampuan usahanya berkaitan dengan kualifikasi usahanya.
b.         Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi (Pasal 23 sd 24)
Penyelengaraan pekerjaan konstruksi meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang masing-masing dilaksanakan melalui kegiatan penyiapan, pengerjaan dan pengakhiran (pasal 23). Setiap tahapan pekerjaan konstruksi harus sesuai dengan jenis dan bidang usahanya atau memenuhi ketentuan keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, dan tata lingkungan setempat untuk menjamin tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
c.         Penyelesaian Sengketa/Perselisihan (Pasal 36 sd 37)
Sengketa atau perselisihan dapat terjadi pada kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (pasal 36 dan pasal 37) serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Sengketa dapat diselesaikan melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian dengan pengadilan hanya dilakukan jika penyelesaian diluar pengadilan tidak berhasil. Penyelesaian sengketa telah ditetapkan dalam kontrak kerja konstruksi dan disetujui oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut.

3.        Pengaturan yang bertujuan untuk mewujudkan Hasil Pekerjaan Konstruksi berkualitas dan berfungsi


Gambar 6.4 Hubungan antara Pekerjaan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan
a.         Pekerjaan Konstruksi (Pasal 23-24)
Setiap tahapan pekerjaan konstruksi harus dilakukan oleh badan usaha/orang perseorangan dengan jenis dan bidang usaha yang sesuai. Hal ini ditunjukkan dengan sertifikat klasifikasi dan kualifikasi usaha yang telah diregistrasi oleh lembaga yang telah ditunjuk. Tenaga ahli dan terampil yang melaksanakan pekerjaan konstruksi juga harus sesuai dengan bidang keahlian atau profesinya agar dapat bertanggungjawab terhadap hasil pekerjaannya jika terjadi kegagalan bangunan.
b.         Kegagalan Bangunan (Pasal 25-28)
Berkaitan dengan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dapat terjadi kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan dapat terjadi pada saat pengerjaan pelaksanaan konstruksi dan atau pada saat pemanfaatannya. Dimana bangunan tidak dapat berfungsi sebagaimana yang direncanakan. Kegagalan bangunan dapat disebabkan oleh pengguna jasa dan atau penyedia jasa baik perencana, pelaksana maupun pengawas pekerjaan konstruksi. hak dan kewajiban dari pengguna jasa dan penyedia jasa berkaitan dengan kegagalan bangunan diatur dalam kontrak kerja konstruksi.




6.4                   MANFAAT UUJK NO. 18 TAHUN 1999
Manfaat UUJK bagi Masyarakat Konstruksi
1.        Adanya pembagian peran berupa tanggung jawab dan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan jasa konstruksi.
2.        Menjamin terciptanya penyelenggaraan tertib usaha jasa konstruksi yang adil, sehat dan terbuka melalui pola persaingan yang sehat.
3.        Meningkatnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi melalui kemitraan dan sistem informasi, sebagai bagian dari pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi.
4.        Lingkup pengaturan yang diperluas tidak hanya mengatur usaha jasa konstruksi melainkan mengatur rantai pasok sebagai pendukung jasa konstruksi dan usaha penyediaan bangunan.
5.        Adanya aspek perlindungan hukum terhadap upaya yang menghambat penyelenggaraan jasa konstruksi agar tidak mengganggu proses pembangunan. Perlindungan ini termasuk perlindungan bagi pengguna dan penyedia jasa dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi. Pada RUU tentang Jasa Konstruksi yang baru tidak terdapat klausul kegagalan pekerjaan konstruksi hanya ada klasul kegagalan bangunan. Hal ini sebagai perlindungan antara pengguna dan penyedia jasa saat melaksanakan pekerjaan konstruksi.
6.        Perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia dalam bekerja di bidang jasa konstruksi, termasuk pengaturan badan usaha asing yang bekerja di Indonesia, juga penetapan standar remunerasi minimal untuk tenaga kerja konstruksi.
7.        Adanya jaring pengaman terhadap investasi yang akan masuk di bidang jasa konstruksi.
8.        Mewujudkan jaminan mutu penyelenggaraan jasa konstruksi yang sejalan dengan nilai-nilai keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan (K4).


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Damopolii, 2017.  Prinsip Dasar dan Etika Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. http://ahmaddamopolii.info/2017/08/02/prinsip-dasar-dan-etika-pengadaan-barangjasa-pemerintah/  .(Diakses tanggal 5 November 2018)
Bappenas, 2000. Pembiayaan dan pengendalian rancangan anggaran pembangunan. https://www.bappenas.go.id/id/data-dan-informasi-utama/pembiayaan-dan-pengendalian/rancangan-anggaran-pembangunan-dalam-rapbn-2000/pokok-pokok-anggaran-pembangunan-tahun-2000/
Jack, Rachmoez, 2015. Prinsip-prinsip dalam penganggaran. http://dominique122.blogspot.com/2015/05/prinsip-prinsip-dalam-penganggaran.html
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemeintah, 2010. Modul Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. http://www.lkpp.go.id/v2/files/content/file/Modul_Pengantar_PBJP_1-10.pdf. (Diakses tanggal 5 November 2018)
panji. Deddy, 2013. Mk administrasi proyek. http://drdeddypandjisantosa.blogspot.com/2013/12/mk-administrasi-proyek-pemerintah-s2_31.html
Rahman. Saiful, 2013. Sistem penganggaran pemerintah. http://saifulrahman.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/Sistem-Penganggaran-Penerintah.pdf
Undang-undang jasa kontruksi no.18, 1999
Undang-undang jasa kontruksi no.12, 2017